BAYANG SENJA

Rumah tua itu masih seperti dahulu ketika terakhir kali aku berkunjung, tanpa cat namun rapi dan asri oleh warna-warni bunga. Meskipun atap yang terbuat dari genteng merah itu mulai pudar warnanya, namun masih terlihat kokoh. Pilar kayu jati bulat tanpa olah di teras itu, kokoh tegak seperti penjaga pintu masuk, potongan cabangnya dibiarkan begitu saja satu jengkal. Ada bunga asoka bergerombol tapi terpisah satu sama lain. Indahnya bunga mawar yang tak terurus di sebelah kanan rumah, ditanam dalam sebuah ember bekas. Lalu lalang burung gereja yang sibuk mengawasi anak-anaknya yang baru keluar sarang. Semuanya, seperti menyapaku pagi ini di rumah Si Mbah.

   
    Mbah Abdul Karim, atau lebih dikenal dengan Mbah Abdul saja. Ya, begitulah Mbah sering dipanggil oleh orang-orang Kampung Wonosari ini. Mbah Abdul telah sakit hampir empat hari. Ia tergeletak lemas, sedikit sekali kata-kata keluar dari mulutnya yang telah ompong itu. Disaat seperti ini memang sulit sekali aku menderngar dengan jelas setiap kata yang keluar dari mulut Mbah, suaranya tertahan dengan napas yang tertekan. Hanya Mbah Putri yang selalu mendapingi dan menerjemahkan setiap ucapan Mbah Abdul, memang Mbah Putri selalu saja disampingnya.

“Bu, kesini sebentar!” terdengar suara Mbah Abdul, tampaknya ia emanggil Mbah Putri. Dalam pikiranku bertanya-tanya ada apa gerangan Mbah memanggil Mbah Putri.
“Tolong gorengkan ubi, dan buatkan secangkir kopi pahit. Tidak usah

terlalu banyak gulanya”, Kalimat yang sekaligus memberiku jawaban.
“Tapi Bapak baru saja minum obat lho pak...”, Mbah Putri seolah

mengingatkan. Namun, sebagai istri yang sudah paham benar dengan karakter Mbah, Mbah putri tetap saja memenuhi permintaan Mbah Abdul, apalagi di saat sakit begini.
   
    Tiba-tiba waktu terasa hening. Sepi. Aku yang duduk di teras rumah ini merasakan sesuatu yang sulit ku pahami, antara kesedihan dan harapan. Hanya suara batuk tertahan dari Mbah saja yang jelas di telingaku. Samar-samar juga ku dengar suara air dituang, dan diiringi suara sendok beradu dengan bibir gelas dengan nadanya yang khas. Entah kemana pikiranku saat itu, mungkin saja 15 menit atau 20 menit aku duduk melamun.

    "Den, Deden... kemarilah, Nak"... tiba-tiba suara Mbah Abdul memporak-porandakan lamunanku.
"I.. iya, Mbah.." Jawabku. Sambil setengah berlari aku menghampiri Mbah di dalam kamarnya. Aku lihat Mbah Putri duduk dengan wajah sedih, sambil tangannya secara perlahan tapi pasti, memijit-mijit kaki Mbah Abdul yang masih terbaring dengan bantal yang sedikit ditinggikan.

    "Apa kabar orangtuamu di sana?" Mbah bertanya dengan suara yang agak serak. Tampaknya efek ubi goreng dan kopi pahit telah membuat suara Mbah lebih jelas dari sebelumnya; atau memang sebenarnya Mbah telah mempersiapkan diri untuk situasi ini.
"Kabar mereka baik-baik saja, Mbah" Jawabku seadanya.
"Beginilah. Sebenarnya mbah tidak sakit, hanya saja pikiran Mbah tertekan untuk saat ini". Mbah mulai mengungkapkan isi hatinya.
   
    Tiba-tiba udara terasa panas di kamar ini, aku hanya diam sambil menatap tajam ke wajah tua Mbah yang sedang menarik nafas dalam, seolah-olah begitu berat beban yang ia pikirkan. Dengan seksama aku mendengar kalimat demi kalimata yang terucap dari mulut Mbah Abdul, dan aku memahami dari sudut pandangku yang belum tentu itu benar atau salah.
   
    Rupanya semua bermula dari Kedai Kopi Mak Inah di Simpang Tiga itu. Saat itu, Mbah dan beberapa orang kawannya terlibat dalam suatu obrolan serius, secara kebetulan Pak Sekdes juga ada disana. Dalam beberapa waktu disana, terungkaplah bahwa akan ada perusahaan "Induk Semang" sebagai Bapak Angkat dalam perkebunan sawit. Beberapa kawan mbah disana sangat antusias dengan hal itu, namun hanya mbah saja yang diam dan bingung.
    Obrolan terus berlanjut saat itu dengan akhir yang tak jelas. Satu hal yan pasti bagi Mbah adalah dimusuhi oleh teman-temannya sebab dianggap tidak setuju dengan sistem Bapak Angkat perkebunan itu. Dalam pemikiran Mbah yang hanya taman SLTP-Tsanawiyah menanami sawit di lahan yang telah ada tidak perlu diputuskan secara tergesa-gesa. Mbah memang seorang petani tulen. Hampir tiap meter lahannya tidak pernah dibiarkan menganggur; pisang, nangka, dan sukun selalu ditanam dan dirawat dengan baik. Tentu saja, tindakan Mbah ini bukan sekedar asal-asalan, tetapi dengan pemikiran bahwa apabila konversi lahan menjadi perkebunan sawit ini telah merajalela maka kekurangan pangan akan terjadi. Dan, HANTU apalagi yang lebih menakutkan bagi petani yang sudah KELAPARAN di lahan pertaniannya sendiri.

    "Uhuk-Uhuk..hhh" Suara batuk Mbah Abdul mengakhiri ceritanya. "Lalu bagaimana menurutmu Nak? Engkau yang telah bersekolah tinggi?" begitulah kalimat pertanyaan yang sebenarnya belum siap aku jawab.

    Aku terdiam. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Tiba-tiba aku merasakan ketakutan Mbah Abdul mulai mengalir dalam darahku saat ini. Apa dan bagaimanakah ini? Mengapa? semua kalimat tanya itu memerlukan waktu untuk dijawab.

0 Response to "BAYANG SENJA"

Post a Comment