Siang itu panas begitu terik, Alamsyah setengah melamun datang
ke kantor untuk melaporkan persediaan material yang masih ada, dan kebutuhan
material untuk esok hari.
“Pak, persediaan kita telah mulai menipis, terutama kebutuhan
semen di lapangan”. Lapornya setelah sampai dihadapan Bapak Rian selaku
pengawas umum.
“Ya, sebenarnya saya telah mengetahui dengan pasti kondisi di
lapangan, namuan dalam dua minggu ini memang harus kita akui bahwa manajemen
sedang kesulitan pembiayaan. Semua itu di sebabkan lambatnya pertumbuhan
ekonomi makro, memang tidak secara langsung berimbas kepada kita, namun Consumer Confidence menurun”. Jelas Pak
Rian.
“Yeah, akibat rendahnya kepercayaan konsumen itu maka mereka
tidak begitu antusias untuk memutuskan membeli rumah, tetapi lebih kepada
bagaimana mempertahankan keadaan ekonomi pada sektor yang paling mendasar,
yaitu pangan. Pelaku bisnis kelas menengah ke atas mempertahankan status quo
untuk tidak melakukan transaksi bisnis dahulu sampai keadaan membaik. Akibatnya,
barang dan jasa yang beredar di tengah-tengah masyarakat menjadi langka dan
langka”. Begitulah Pak Rian menjelaskan dengan rinci sambil menarik napas
panjang. Alamsyah meskipun seorang Engineer tetapi ia cukup mengerti penjelasan
itu. Dan kemudian ia berpamitan untuk kembali ke lapangan, sebab Pukul 14.30
memang belum waktunya untuk pulang.
Ia dengan segera menuruni anak tangga lantai 2 itu dengan
langkah sedikit malas. Ia pandangi ujung sepatunya itu tanpa menoleh kiri atau
kanan, sampai ia dikejutkan oleh ujung sepatu lain di depannya. Dag-dig-dug
jantungnya tiba-tiba tak berdetak dengan kencang, bukan sakit jantung, tapi di
depannya ada Ayunda dengan gaya yang tak jauh berbeda pada arah berlawanan.
Posisi mereka tepat di tengah, naik dan turun sama jauhnya. Tiada kata-kata,
mata beradu. Namun, tiada juga senyuman dari keduanya. Perasaan mereka berdua
masih sulit sekali dijelaskan. Ayunda menyingkirkan langkahnya ke sebelah kiri
dan Alamsyah ke sebalah kanan, hampir bersamaan.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah... Jrengggg, tanpa ada
komando dari siapa pun keduanya berbalik kanan. Saling tatap. Entahlah, siapa
sebenarnya yang lebih dulu menyapa, tiba-tiba hampir bersamaan. “Apa kabar?”.
Entah siapa yang bertanya dan siapa yang akan menjawab. Kalimat
tanya yang sama pada waktu yang sama. Pecahlah tawa mereka di tengah tangga
lantai 2 itu. Hilang keraguan mereka. Bagai bongkahan gunung es yang besar
tiba-tiba longsor. Tangan mereka saling berjabat tangan. Agak lama juga tangan
mereka bertaut, tiada yang mau melepas lebih dahulu. Tiba-tiba...
“Ehm”, suara dari atas tangga. Rupanya tanpa sadar Pak Direktur
telah berdiri di sana, namun tiada sepatah kata pun. Kedua insan yang sedang
lupa daratan ini segera turun dari awan ketidaksadarannya. Mereka berlari
menuju tujuan awal masing-masing. Hanya Pak Direktur yang agak bingung
sementara.
“Dasar anak muda..” dengan senyuman yang aneh Pak Direktur
menuruni tangga, sebentar-sebentar ia gelengkan kepalanya. Namun kemudian ia
terus melangkah ke arah mobil “Pajero” putih di halaman parkir.
Ternyata, Ayunda kembali ke ruang HRD dan meminta Contact Number
kepada Fitri, tentu saja nomor handphone Alamsyah. Fitri seperti biasa tidak
berani komentar apa pun tentang ini; yang pasti dalam beberapa hari kemudian
akan ada gosip hangat di kantor ini.
‘hai, it s me Ayunda, I knew
your number’ begitu tulisnya dalam SMS perdana
yang mendebarkan. Di bawah terik matahari di dekat rumah yang setengah jadi,
Alamsyah tersenyum lebar dengan tangan dikepalkan ke atas seperti meninju
tingginya langit. ‘Yes.. Yes.. Yes’ teriaknya. Semua orang disana, terutama Pak
Karyo terheran-heran. “Dasar Stress...” gumam Pak Karyo sambil tangannya
memegang batu bata.
Mulai hari ini tampaknya ada dua orang yang sedang jatuh cinta,
tetapi seberapa jauh dan efektifnya pendekatan yang akan dilakukan oleh kedua
orang ini masih menjadi tanya besar; sebab cinta memerlukan waktu dan
kepercayaan. Bukankah begitu?
Bersambung ke Bagian 5
0 Response to "ASMARA DALAM LACI (Bagian 4)"
Post a Comment