Cuaca begitu panas, Ayunda duduk di ruangannya. Matanya tajam menatap
monitor MacBook Pro di hadapannya. Tangan kirinya memegang beberapa lembar
kertas laporan penjualan yang membingungkan. Dalam dua bulan terakhir penjualan
mengalami penurunan drastis akibat situasi ekonomi yang tidak menentu. Sales Marketing
di lapangan selalu hadir dengan keluh kesah, tampaknya masyarakat sedang tidak
antusias untuk membeli rumah meskipun dengan bonus yang di luar kebiasaan;
bahkan tanpa uang muka. “Kami sedang tidak memprioritaskan property rumah untuk
saat ini, bahkan kami semua sedang mengeluarkan jurus bertahan hidup” itulah
kurang lebih alasan yang dikemukakan oleh klien. Ada 11 klien mengundurkan diri
bahkan setelah membuat janji untuk melakukan kesepakatan jual beli.
Ayunda gelisah, penurunan penjualan ini akan menjadi pertanyaan utama direkturnya
dalam rapat akhir minggu nanti,Bapak Ir. WINATA PRAYOGA. Yeah, mau apa lagi? Semua
di luar prediksi dan bukan kemauannya sendiri. Memberi penekanan berlebih
kepada Sales Marketing di lapangan justru akan menimbulkan permasalahan baru,
mungkin bisa mengarah ke urusan personal.
Beberapa menit berlalu, sudah pukul 12.08, Ayunda dengan setengah hati
beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya sama sekali tidak bersemangat. Lesu. Rambutnya
yang hitam lurus itu diikat seenaknya saja, ujung depan rambutnya sesekali
berserakan ke pipi kiri ketika angin sepoi nakal membelainya. ‘Teh Es’ dan ‘Siomay’
di kantin sebelah akan menjadi sasaran utamanya saat ini.
JRENGGG... Ayunda sedikit ragu untuk masuk ke kantin, pandangannya
mengitari seluruh ruangan. Mengapa hari ini kantin begitu ramai? Langkahnya tak
pasti, namun jelas satu kursi di sudut kanan kantin itulah yang masih kosong.
Pandangannya tertahan pada sosok yang tidak asing lagi, siapa yang tidak
mengenal sosok kehitaman dengan perut setengah buncit itu. “Hmmm.. Pak Direktur
juga ada disini rupanya, pantas ruangannya kosong sejak satu setengah jam lalu”
celoteh Ayunda dalam hati.
Duduk satu meja dengan karyawan lain yang tidak begitu ia kenali. Hari ini kantin hampir dikuasai orang lapangan, terutama mereka bagian konstruksi; pengawas lapangan dan tukang. Beberapa orang yang duduk di depannya hanya tersenyum sambil menyapa ringan sebagai basa-basi. Ayunda tahu itu bukan senyuman tulus.
“Mbak Ayunda mau pesan apa?” Tanya pelayan kantin yang sudah lama
mengenalnya.
“Saya pesan teh es dan siomay, tidak pakai lama...” Ayunda menjawab dengan
bahasanya yang terdengar begitu akrab.
Bebepara menit berlalu, teh es dan siomay sudah di hadapannya. Ayunda larut
dalam nikmatnya Siomay dan Teh Es. Tak jauh dari tempatnya duduk, kira-kira
arah pukul 3 dari hadapannya; seorang pemuda duduk membelakangi dengan santai. Pemuda
itu tak lain ALAMSYAH DWIPUTRA yang ia marahi tempo hari. ‘Oh, diterima juga ia
bekerja disini’ Ayunda berbisik dalam hati.
Alamsyah memang datang lebih awal. Watak yang cuek itu memang tidak
memberinya masalah sampai saat ini. Ia asyik bercerita dan tertawa lirih
bersama beberapa teman barunya. Sampai beberapa detik kemudian, saat ”HAHAHAHAHAHA-WKAKAAWAKA”
tertawanya yang keras itu menjadi perhatian khusus warga kantin.
“Jangan berisik!” Tiba-tiba suara yang lebih keras mengalahkan kerasnya
ketawa-ketiwi Alamsyah cs. Semua terdiam. Rupanya Bapak Direktur merasa
terganggu dengan suasana berisik itu. Nah, siapa yang berani?
Susana tiba-tiba saja mencekam. Ketika Pak winata Prayoga berdiri dan
mendekati meja Alamsyah.
“Ngobrol ngalor-ngidul gak jelas intinya, berisik saja kalian ini. Kamu karyawan
baru ya?” tanyanya dengan tangan satu di pinggang dan satu lagi memegang gelas
berisi juice mentimun.
“Iy... Iya pak” Jawab Alamsyah dengan tertunduk, ‘ini suatu yang buruk’ bisik
hatinya.
“Ini untukmu” kata Bapak Prayoga dengan seenaknya saja menuangkan juice
mentimun tepat di atas kepala Alamsyah. “Berisik...” lanjutnya sambil berlalu
meninggalkan kantin.
“Alamak...., nasibku” gumam Alamsyah dalam hati.
“Hahahaha... lucu-lucu banget dech” suara spontan di meja yang lain. Itu suara
milik Ayunda. Ia tanpa sadar secara spontan tertawa, tertawa yang sesungguhnya
tanpa paksaan atau rekayasa. Seperti menemukan mainan baru, atau mendapatkan
pencerahan setelah beberapa hari ini murung saja. Riuh-rendah suara tawa yang
lain menyusul, new point of view-nya adalah Alamsyah.
Alamsyah tiba-tiba kehilangan percaya diri, sifat cueknya tertutup seketika
oleh rasa malu dan marah. ‘Dasar Sempruuuulll’ makinya dalam hati, meski Pak
Proyoga telah lenyap dari pandangan. Ia berbalik arah, pandangannya tajam ke
arah Ayunda.
Ayunda Hapsari dan Alamsyah Dwiputra, pandangan beradu. Mata bertemu mata. Hilang
suara tawa dari semua warga kantin. Senyap sementara. Waktu seolah-olah hilang
seketika. Setiap orang sudah menduga bahwa akan ada ledakan kalimat atau
makian, setidaknya ada sedikit kemarahan. Hening dalam penantian.
Hampir satu menit sudah. Alamsyah merasakan getaran aneh dalam dadanya,
belum pernah yang seperti ini. Ada bahagia, sedih, sayang, marah, benci semua
rasa menjadi satu. Peperangan dalam dadanya begitu sensitif, api perasaan itu
menerjang dan mendobrak dinding beton dalam hatinya. Ia coba bertahan. Namun kekuatan
perasaan itu semakin kuat dan kuat, dan tanpa ia sadari melahirkan senyuman
yang paaaaaaling ikhlas dari bibirnya. So sweet.
Begitu pun Ayunda, ia paham jenis senyum itu. Senyuman yang juga sering ia
lihat dari beberapa pria sebelum ini. Tapi, intuisinya bersuara nyaring ‘ini
yang paling tulus’. Sebuah senyum penuh CINTA. Namun ego-nya hidup kembali. Lagi
dan lagi demi wibawa yang harus ia jaga menurut versinya. Ia seolah tanpa
logika, kakinya melanggah sedikit gemetar, pipi merah tersipu, senyuman bahagia
yang tertahan. Ayunda benar-benar merasakannya, ia menikmati frekuensi
kebahagiaan itu walau hanya beberapa detik saja.
0 Response to "ASMARA DALAM LACI (Bagian 2)"
Post a Comment