ASMARA DALAM LACI (Bagian 2)





Cuaca begitu panas, Ayunda duduk di ruangannya. Matanya tajam menatap monitor MacBook Pro di hadapannya. Tangan kirinya memegang beberapa lembar kertas laporan penjualan yang membingungkan. Dalam dua bulan terakhir penjualan mengalami penurunan drastis akibat situasi ekonomi yang tidak menentu. Sales Marketing di lapangan selalu hadir dengan keluh kesah, tampaknya masyarakat sedang tidak antusias untuk membeli rumah meskipun dengan bonus yang di luar kebiasaan; bahkan tanpa uang muka. “Kami sedang tidak memprioritaskan property rumah untuk saat ini, bahkan kami semua sedang mengeluarkan jurus bertahan hidup” itulah kurang lebih alasan yang dikemukakan oleh klien. Ada 11 klien mengundurkan diri bahkan setelah membuat janji untuk melakukan kesepakatan jual beli.

Ayunda gelisah, penurunan penjualan ini akan menjadi pertanyaan utama direkturnya dalam rapat akhir minggu nanti,Bapak Ir. WINATA PRAYOGA. Yeah, mau apa lagi? Semua di luar prediksi dan bukan kemauannya sendiri. Memberi penekanan berlebih kepada Sales Marketing di lapangan justru akan menimbulkan permasalahan baru, mungkin bisa mengarah ke urusan personal.
Beberapa menit berlalu, sudah pukul 12.08, Ayunda dengan setengah hati beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya sama sekali tidak bersemangat. Lesu. Rambutnya yang hitam lurus itu diikat seenaknya saja, ujung depan rambutnya sesekali berserakan ke pipi kiri ketika angin sepoi nakal membelainya. ‘Teh Es’ dan ‘Siomay’ di kantin sebelah akan menjadi sasaran utamanya saat ini.

JRENGGG... Ayunda sedikit ragu untuk masuk ke kantin, pandangannya mengitari seluruh ruangan. Mengapa hari ini kantin begitu ramai? Langkahnya tak pasti, namun jelas satu kursi di sudut kanan kantin itulah yang masih kosong. Pandangannya tertahan pada sosok yang tidak asing lagi, siapa yang tidak mengenal sosok kehitaman dengan perut setengah buncit itu. “Hmmm.. Pak Direktur juga ada disini rupanya, pantas ruangannya kosong sejak satu setengah jam lalu” celoteh Ayunda dalam hati.


  
Duduk satu meja dengan karyawan lain yang tidak begitu ia kenali. Hari ini kantin hampir dikuasai orang lapangan, terutama mereka bagian konstruksi; pengawas lapangan dan tukang. Beberapa orang yang duduk di depannya hanya tersenyum sambil menyapa ringan sebagai basa-basi. Ayunda tahu itu bukan senyuman tulus.
“Mbak Ayunda mau pesan apa?” Tanya pelayan kantin yang sudah lama mengenalnya.
“Saya pesan teh es dan siomay, tidak pakai lama...” Ayunda menjawab dengan bahasanya yang terdengar begitu akrab.

Bebepara menit berlalu, teh es dan siomay sudah di hadapannya. Ayunda larut dalam nikmatnya Siomay dan Teh Es. Tak jauh dari tempatnya duduk, kira-kira arah pukul 3 dari hadapannya; seorang pemuda duduk membelakangi dengan santai. Pemuda itu tak lain ALAMSYAH DWIPUTRA yang ia marahi tempo hari. ‘Oh, diterima juga ia bekerja disini’ Ayunda berbisik dalam hati. 

Alamsyah memang datang lebih awal. Watak yang cuek itu memang tidak memberinya masalah sampai saat ini. Ia asyik bercerita dan tertawa lirih bersama beberapa teman barunya. Sampai beberapa detik kemudian, saat ”HAHAHAHAHAHA-WKAKAAWAKA” tertawanya yang keras itu menjadi perhatian khusus warga kantin.
“Jangan berisik!” Tiba-tiba suara yang lebih keras mengalahkan kerasnya ketawa-ketiwi Alamsyah cs. Semua terdiam. Rupanya Bapak Direktur merasa terganggu dengan suasana berisik itu. Nah, siapa yang berani? 

Susana tiba-tiba saja mencekam. Ketika Pak winata Prayoga berdiri dan mendekati meja Alamsyah.

“Ngobrol ngalor-ngidul gak jelas intinya, berisik saja kalian ini. Kamu karyawan baru ya?” tanyanya dengan tangan satu di pinggang dan satu lagi memegang gelas berisi juice mentimun.
“Iy... Iya pak” Jawab Alamsyah dengan tertunduk, ‘ini suatu yang buruk’ bisik hatinya.

“Ini untukmu” kata Bapak Prayoga dengan seenaknya saja menuangkan juice mentimun tepat di atas kepala Alamsyah. “Berisik...” lanjutnya sambil berlalu meninggalkan kantin. 

“Alamak...., nasibku” gumam Alamsyah dalam hati.

“Hahahaha... lucu-lucu banget dech” suara spontan di meja yang lain. Itu suara milik Ayunda. Ia tanpa sadar secara spontan tertawa, tertawa yang sesungguhnya tanpa paksaan atau rekayasa. Seperti menemukan mainan baru, atau mendapatkan pencerahan setelah beberapa hari ini murung saja. Riuh-rendah suara tawa yang lain menyusul, new point of view-nya adalah Alamsyah.

Alamsyah tiba-tiba kehilangan percaya diri, sifat cueknya tertutup seketika oleh rasa malu dan marah. ‘Dasar Sempruuuulll’ makinya dalam hati, meski Pak Proyoga telah lenyap dari pandangan. Ia berbalik arah, pandangannya tajam ke arah Ayunda.

Ayunda Hapsari dan Alamsyah Dwiputra, pandangan beradu. Mata bertemu mata. Hilang suara tawa dari semua warga kantin. Senyap sementara. Waktu seolah-olah hilang seketika. Setiap orang sudah menduga bahwa akan ada ledakan kalimat atau makian, setidaknya ada sedikit kemarahan. Hening dalam penantian.

Hampir satu menit sudah. Alamsyah merasakan getaran aneh dalam dadanya, belum pernah yang seperti ini. Ada bahagia, sedih, sayang, marah, benci semua rasa menjadi satu. Peperangan dalam dadanya begitu sensitif, api perasaan itu menerjang dan mendobrak dinding beton dalam hatinya. Ia coba bertahan. Namun kekuatan perasaan itu semakin kuat dan kuat, dan tanpa ia sadari melahirkan senyuman yang paaaaaaling ikhlas dari bibirnya. So sweet.

Begitu pun Ayunda, ia paham jenis senyum itu. Senyuman yang juga sering ia lihat dari beberapa pria sebelum ini. Tapi, intuisinya bersuara nyaring ‘ini yang paling tulus’. Sebuah senyum penuh CINTA. Namun ego-nya hidup kembali. Lagi dan lagi demi wibawa yang harus ia jaga menurut versinya. Ia seolah tanpa logika, kakinya melanggah sedikit gemetar, pipi merah tersipu, senyuman bahagia yang tertahan. Ayunda benar-benar merasakannya, ia menikmati frekuensi kebahagiaan itu walau hanya beberapa detik saja.

0 Response to "ASMARA DALAM LACI (Bagian 2)"

Post a Comment