ASMARA DALAM LACI (Bagian 3)





Istilah nasib baik selalu digunakan orang untuk keadaan yang menguntungkan dan nasib buruk selalu digunakan orang untuk situasi yang merugikannya. Tiada kata kebetulan dalam hidup ini, semua telah ada yang mengatur; Dialah Tuhan yang Maha Esa, meski kebanyakan manusia mengabaikan kekuatan-Nya. Begitu juga pertemuan Ayunda dan Alamsyah, Tuhan telah mengaturnya meskipun keduanya tidak menyadari hal itu.

Malam sejak kejadian di kantin, Ayunda menjadi terganggu kedamaiannya. Seperti malam ini, ia begitu sulit memejamkan mata. Biasanya hal semacam ini bisa ia atasi dengan mendengarkan lagi R&B, pikirannya akan dengan mudah larut dalam alunan musik, lalu tanpa ia sadari sudah berada di alam mimpi. Berulangkali lagi kesukaannya ia putar, justru membosankan. Ia coba untuk membuat susu di dapur, lalu meminumnya agar cepat tidur, tetap saja tidak bisa. Ingin menonton televisi sudah pukul 2:00 WIB dan pasti tidak ada acara yang menarik lagi. Ia coba menarik selimutnya perlahan, pikirannya selalu tertuju pada sosok aneh itu. Alamsyah.

Sungguh mengherankan, pagi ini ia terlambat bangun dan baru kali ini. Biasanya, ia paling cerewet dan ceria di meja makan saat sarapan pagi bersama keluarga. Tetapi pagi ini sungguh membuat heran Pak Nugraha sebagai kepala keluarga. Ibunya yang sedari tadi duduk di dekatnya juga merasa heran, ada kode aneh dari ibunya kepada Pak Nugraha ketika sarapan pagi tepat setengah waktu.

“Ayunda, apakah kamu demam, Nak?” Tanya ibunya.
Justru keanehan semakin tampak jelas ketika pertanyaan sejelas itu tidak didengar oleh Ayunda.
“Nak, apakah kamu sedang sakit?” Tegas ibunya sembari memegang pundak Ayunda.
“Ti.. Tidak, Bu. Ayunda baik-baik saja” jawabnya dengan gugup.
“Ya sudah, dihabiskan sarapannya terus berangkat kerja, ini sudah siang lho”. Lanjut ibunya.

Ayunda mengangguk pelan, tetapi justru malah memandangi jam dinding di sebelah kanannya lalu meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Ia pergi ke kamar dengan cepat, dan tak lama kemudian keluar dengan tergesa-gesa untuk berangkat ke kantor.
“Ayunda berangkat kerja ya Ma” pamitnya sambil mencium tangan papa dan mamanya.

Dalam perjalanan, motor Honda Vario Techno yang ia naiki melaju dengan kecepatan standar 40 km/jam. Entah apa yang ada dalam pikirannya yang jelas ia sampai juga di depan kantor.

Di kantor pagi itu, ia menghabiskan waktu beberapa menit hanya untuk duduk. Bingung. Bahkan tumpukan laporan staff-nya yang biasanya pertama kali ia buka, justru ia singkirkan pelan dengan tangan kanannya. Tampaknya sesuatu telah mengganggu kedamaian hatinya selama ini.

Dahulu, ia pernah jatuh cinta kepada teman satu kampusnya, menjalin hubungan selama 3 tahun. Kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia, ketika perpisahan tidak bisa dihindari oleh keinginan manusia. Kekasihnya meninggalkannya untuk selama-lamanya ketika terjadi kecelakaan dalam suatu ekspedisi naik gunung. Kini cinta kembali menghampiri dengan cara yang berbeda, ya jatuh cinta. Semua itu diluar kendali logikanya, ia muncul begitu saja dalam alam bawah sadar. Ia tidak ingin mengutuk cinta itu, ia adalah anugerah sejati dari yang Maha Kuasa, tetapi mengapa harus Alamsyah? Orang yang belum dia kenal sama sekali.

Ayunda memang cerdas. Gadis jelita lulusan Ekonomi Manajemen ini tidak dengan mudah tunduk dalam suatu situasi yang mengekangnya, bahkan dalam cinta sekalipun. Rasa penasarannya menyerbu seperti bala tentara di medan perang, semangatnya meledak. 

“Oh, aku harus ke ruang HRD sekarang”. Kata hati kecilnya.
Di ruang HRD hanya ada Fitri sebagai staff, dan Manager HRD tampaknya sedang tugas luar.
“Fitri, bisa saya minta daftar karyawan baru?” Ayunda meminta.
“Boleh Mbak..” Jawab fitri. Ini bukan sesuatu yang sulit bagi Fitri, sebab daftar itu ada di dekat printer meja sebelah. Namun seorang Fitri tentu saja tidak berani berkata apa-apa lagi, sebab ia begitu kenal dengan Ayunda yang kadang-kadang jika keinginannya ditolak akan memaksa dengan caranya sendiri.

Ayunda membuka lembar pertama, ia tidak menemukan informasi yang ia inginkan. Lalu kemudian di halaman kedua juga tidak ia temukan. Nah, Jreeenggg... di halaman ketiga dengan jelas ia melihat nama itu, ALAMSYAH DWIPUTRA. Ia dengan teliti memeriksa biodata itu, usianya 28 tahun, lulusan Teknik Sipil, berbagai macam pengalaman kerja yang bahkan tiada hubungan dengan disiplin ilmunya, ia dua bersaudara, alamat jelas, posisi lamaran sebagai pengawas lapangan.

Ayunda merasa cukup informasi untuk pagi ini, ia kembali ke kantornya dengan tergesa-gesa. Bahkan ketika ia berpapasan dengan direkturnya, ia tidak berhenti sama sekali. Bapak Winata Prayoga heran, sepertinya pak direktur ini ingin menyampaikan sesuatu; begitu melihat Ayunda tidak berhenti ia hanya bisa garuk kepala yang sama sekali tidak gatal itu. Maklum saja, direktur ini tidak mau berdebat dengan Ayunda, karena ia selalu tidak  bisa menolak alasan Ayunda yang cerdas. Apalagi Pak Winata adalah teman baik ayah Ayunda. 

Disana, Alamsyah sedari pagi duduk di dekat rumah setengah jadi. Para tukang yang bekerja sedari pagi merasa heran, biasanya pengawas yang satu ini akan ceria dan sedikit agresif mempertanyakan progres pekerjaan, volume kerja dan bahan yang ada. Tetapi, pagi ini semua seolah di luar kendalinya. Ia hanya duduk sambil menghisap rokok Dji Sam Soe dan sesajen kopi pahit yang tinggal setengah gelas. Hmm, pasti telah terjadi sesuatu, tetapi tukang yang bekerja malahan tidak memusingkan hal itu, contohnya pak Karyo yang sedari tadi memasang batu bata. 

Matahari jam 10:00 WIB, panasnya mulai terasa di kulit kepala. Alamsyah tetap saja duduk di tempatnya semula. Kopi di sampingnya sudah habis.
“Mas Pengawas, semen kita tinggal 3 zaks lagi” tiba-tiba Pak Karyo menyampaikan laporan di dekatnya.
“Oh, iya pak. Nanti saya akan ke kantor” jawab Alamsyah dengan santai.
Tak lama kemudian ia bangkit dari duduknya dan menyandang tas jeleknya itu. Langkah kakinya kurang meyakinkan ketika ia menyentak engkol Supra-X 125 kesayangannya itu. 

0 Response to "ASMARA DALAM LACI (Bagian 3)"

Post a Comment